Cerpen Muthi'ah Khairunnisa
Rabu, 19 September 2012
dongeng tradisi yang terlupakan
Dongeng Tradisi
yang Terlupakan
Beragam budaya dan tradisi
bertaburan di negeri ini. Salah satunya adalah dongeng. Di setiap suku bangsa,
pastilah mengenal apa itu dongeng, tentu dengan adat istiadat yang berlaku di
suatu daerah. Dari zaman nenek moyang kita, dongeng diwariskan turun temurun
dan menjadi tradisi. Bahkan disetiap
daerah, dongeng tidaklah sama dalam cerita
atau bahasanya. Tidak ada yang tidak mengenal dongeng. Hanya saja dongeng kerap
dikatakan hanya sebatas cerita atau imajinasi semata.
Berdasarkan literatur, dongeng
adalah cerita rakyat lisan. Menurut Danandjaya (1984), dongeng adalah cerita
rakyat yang tidak benar-benar terjadi oleh si punya cerita, dan tidak terikat
waktu dan tempat. Walaupun ada juga dongeng yang berisikan cerita asli atau
kisah nyata. Sedangkan menurut Larkin ( 1947), dongeng adalah menceritakan
kisah baik lisan ataupun membaca buku.
Bagi orangtua, dongeng sebenarnya
tidaklah asing. Karena alam bawah sadarnya masih merekam kenangan manis saat
ibu atau ayah mereka membacakan dongeng sebelum tidur. Namun seiring
perkembangan jaman, dongeng tidak lagi dilirik sebagai bentuk pendidikan
terutama untuk kalangan anak-anak. Walaupun segmentasi dongeng lebih
dikhususkan untuk anak-anak, orang dewasa dan orangtua yang peduli kepada
pendidikan ternyata juga menyukai
dongeng. Di zaman yang serba canggih ini, kini disetiap rumah tangga selalu
tersedia alat-alat teknologi seperti televisi, VCD Player, laptop dan juga handphone
yang bertugas menggeser peran orangtua untuk mendongeng. Cukup nyalakan
televisi, maka sang anak akan duduk manis mendengar dan melihat acara yang
dikatakan cocok untuk anak. Kesibukan orangtua sehingga tidak sempat untuk mendongeng dan ketiadaan waktu khusus
untuk mendongeng menjadi alasan utama para orangtua enggan mendongeng untuk
anak-anak mereka. Bahkan banyak orangtua yang menganggap dongeng itu tidaklah
penting, karena anak-anak mereka sudah pandai membaca, sehingga mereka bisa
membaca cerita sendiri.
Berdasarkan penelitian, dongeng
bermanfaat sangat penting bagi perkembangan mental, fisik dan juga ruhiyah bagi
tumbuh kembang seorang anak, dimulai dari anak usia dini yang lebih suka
mendengarkan cerita daripada membaca. Menurut T.Sarumpaet dalam Maerzyda (2003), dongeng dapat memfasilitasi
perkembangan emosi anak. Sedangkan menurut Goleman (1995), IQ hanya menyumbang
20% dari kesuksesan individu, 80 % lainnya kecerdasan emosional. Maka dari itu,
dongeng dapat merangsang imajinasi, juga dapat meningkatkan kecerdasan emosi
yang memiliki peran penting dalam kesuksesan individu di kehidupannya kelak.
Bagi orangtua, dengan mendongeng akan mendekatkan mereka pada anak-anaknya
secara emosional.
Tak ada yang tahu secara persis bagaimana dongeng
berkembang sejak dari awal kelahirannya.
Karena dongeng itu berkembang di suatu daerah dan mengikuti tradisi atau cerita sesuai kondisi daerah itu. Pada zaman
kerajaan, hidup para pendongeng dijamin oleh raja. Di daerah Aceh, tukang
cerita disebut sebagai PmToh (Kope).
Sedangkan di Jawa disebut Tukang Kentrung. Dan di Jakarta terkenal istilah
Syahibul Hikayat. Salah satu dongeng yang terkenal hingga kini adalah Hikayat
1001 Malam, yang kisah aslinya mengenai seorang raja yang gemar menikahi
perempuan muda untuk kemudian dibunuhnya saat malam pertama. Didaerah Sumatera
khususnya melayu, dongeng sebenarnya tak asing lagi. Dongeng mengenai cerita
Perahu Lancang Kuning yang melegenda dan
menjadi salah satu ikon di Riau ini juga tak banyak yang mengetahuinya. Daerah
Riau yang erat dengan nuansa melayunya sebenarnya juga banyak menyimpan
khazanah budaya termasuk dongeng.
Melihat peran pentingnya sebuah
dongeng dalam perkembangan generasi sebuah bangsa, maka harus ada upaya untuk
kembali mempopulerkan dongeng di kalangan masyarakat. Bukan saja bagi kalangan
pendidik, maupun orang yang benar-benar membaktikan dirinya bagi kelestarian
dongeng. Orangtua juga seharusnya kembali melirik dongeng sebagai alternatif
pendidikan untuk anak-anaknya. Bagi orangtua, mendongeng tidak harus
membutuhkan latihan khusus, hanya yang diperlukan adalah waktu luang dan
keikhlasan hati untuk mendongeng. Menjadikan kegiatan mendongeng adalah suatu kegiatan
atau rutinitas yang seru dan mengasyikkan bagi orangtua dan khusus bagi anak-anaknya.
Sehingga semua anak bangsa, bisa terlibat dalam kelestarian dongeng dan
mewariskannya dari generasi ke generasi berikutnya. Namun perlu dicatat dalam
penerapan dongeng, haruslah dicarikan dongeng yang berisikan pesan-pesan moral
dan akhlak yang baik. Jangan sampai kita sebagai orangtua tidak menyeleksi
dongeng apa yang hendak kita sampaikan. Seperti misalnya, ada orangtua yang
ingin agar anaknya tidak nakal, maka bundanya kemudian menceritakan sebuah
dongeng yang sebenarnya pesannya bagus hanya sang bunda kurang jeli dengan
judul dongeng itu. Yakni dongeng nya diberi judul “si kancil yang nakal”,
sehingga yang terekam di memori otak anaknya yang masih balita adalah kata-kata
yang negatif ( nakal).Justru pesan moral yang baik tidak tercerna atau tidak
tertangkap bagi anaknya. Karena bagi anak usia balita, belum bisa memilah mana
yang baik dan negatif terutama dalam berprilaku. Jika kata-kata yang
negatif lebih sering didengar bahkan
lewat sebuah dongeng, maka menjelang dewasa kata-kata yang tidak baik itu akan
terejawantahkan dalam sebuah prilaku yang permanen. Sehingga keinginan orangtua
yang ingin membentuk buah hati mereka menjadi anak-anak sholeh dan berakhlak
baik tidak tercapai. Maka dari itu, sangatlah penting bagi kita untuk
menyeleksi dongeng secara ketat.
Jika di setiap sekolah terutama
taman bermain, Play Group, PAUD sering diceritakan sebuah dongeng oleh para
pendidik. Bahkan ada jam-jam khusus untuk para guru untuk mendongeng. Sehingga
terkadang acara dongeng adalah acara yang ditunggu oleh sebagian besar para
murid. Maka tak ada salahnya bila disetiap sekolah dasar bahkan menengah juga
mulai dipopulerkan dongeng yang adalah juga tradisi bangsa ini. Tentu dengan
bahasa dan gaya
remaja walau tidak menghilangkan esensi dan maksud serta tujuan dongeng itu
sendiri. Karena dongeng juga memiliki ciri khas dan teknik tersendiri, terpisah
dari budaya lainnya.Sehingga dongeng pun akan dikenal tidak saja dikalangan
generasi jaman dahulu, namun juga dinikmati bahkan digandrungi oleh generasi
masa kini. Tidak lagi memandang sebelah mata atau bahkan alergi dengan dongeng,
namun justru yang berwenang dengan pendidikan di Negara Indonesia ini memasukkan dongeng
dalam kurikulum pendidikan. Terutama pendidikan sastra dan sejarahnya. Di
setiap jenjang pendidikan akan ada pelajaran mengenal dan kemudian mempraktekkan
dongeng. Namun, untuk mampu seperti itu, perlu perhatian lebih dari pihak pemerintah yang berkepentingan dalam
melestarikan sebuah seni dan budaya.
Membangun karakter dengan dongeng
adalah suatu hal yang penting dilakukan. Karena untuk memperbaiki bangsa ini,
maka lewat jalan dongeng terutama kepada generasi awal, adalah keharusan.
Dongeng bisa memiliki arti yang luas dan banyak hikmah yang terkandung didalamnya.
Bagi generasi jaman dahulu, yang kini menjadi ayah atau ibu kita ternyata lebih
peduli kepada pendidikan anak-anaknya yang dibuktikan dengan senantiasa
mendongeng. Sehingga karakter budaya yang kuat, yang berbudi pekerti yang luhur
terpatri kuat dalam benak anak-anak
mereka. Contohnya budaya malu, yang kini
secara perlahan menghilang dari perilaku generasi jaman kini. Sehingga tak ada
lagi rasa malu bila melakukan hal-hal tercela, seperti korupsi, pergaulan bebas
bahkan pornografi dan pornoaksi. Dengan menggiatkan dongeng, hal-hal seperti
itu, bisa diminimalisir tanpa harus menggurui.
Pada akhirnya, lestarinya sebuah
tradisi atau budaya yang beraneka ragam di tanah air kita terutama dongeng,
terpulang kembali kepada masing-masing diri kita sebagai anak bangsa. Bagi
generasi yang hidup di masa lalu, seharusnya turut menularkan kegemaran mereka
akan dongeng. Karena dongeng bukan sekedar cerita masa lalu atau nostalgia dari
generasi tua. Namun dongeng juga menyimpan banyak nilai, budaya dan keluhuran
budi pekerti. Dengan mendongeng, pendengar bisa terbuai dalam alur cerita, ikut
merasakan cerita sang tokoh, kemudian secara tak sadar mengambil butiran
nilai-nilai positif yang bisa di lakukan dalam dunia nyata. Dongeng itu asyik
dan mengasyikkan, bagi siapapun yang mendengarnya. Dan bagi pendongeng, juga
akan mendapatkan nilai-nilai positif dari pendengarnya, baik lewat antusias
mereka dalam mendengarkan, gerak wajah mereka yang berbinar saat mendengar
dongeng, dan nilai positif lainnya. Bangsa ini sudah lama kehilangan sense of
crisis, sebagai jati diri sebuah bangsa yang memiliki peradaban ramah dan
berbudaya malu. Nah, lewat dongeng hal itu bisa di wujudkan kembali.
Keberadaan dongeng pada
hakikatnya sebagai salah satu wasilah untuk menciptakan bangsa yang
berkarakter, yang mandiri, merdeka dalam arti yang sebenarnya. Dan hal itu bisa
dimulai dari generasi muda bahkan semenjak balita. Bukankah anak-anak kita
nanti yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan dimasa yang akan datang?
Sehingga dongeng tak akan menjadi tradisi yang terlupakan bahkan hilang sama
sekali dari peradaban bangsa ini.Sebagai bangsa yang besar, tentulah selayaknya
bangga dengan beragam budaya terutama dongeng. Tak ada salahnya, jika kita
memulai dongeng mulai dari saat ini. Mulai dari keluarga kita sendiri, menyempatkan
diri untuk mendongeng yang takkan memakan waktu yang lama. Harapan penulis,
dongeng mulai menjadi kegemaran kita terutama bagi anak-anak kita. Sehingga
dongeng tradisi yang terlupakan tak akan terjadi sampai kapanpun. Semoga!
Zahra Muthia Pekanbaru 2012.
Asiknya mendongeng
Asyiknya Mendongeng
Dewasa ini, banyak dari orangtua
yang meninggalkan kebiasaan untuk
mendongeng. Tradisi yang berkaitan erat dengan cerita sudah banyak
ditinggalkan. Namun, tahukah Bunda apa sih sebenarnya dongeng itu?
Dongeng berdasarkan literatur
termasuk ceita rakyat lisan. Menurut Danandjaya (1984), dongeng adalah cerita
rakyat yang tidak benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita, dan tidak
terikat waktu dan tempat. Walaupun ada juga dongeng yang berisikan cerita asli
dan kisah nyata. Dalam Bahasa Inggris, dongeng disamakan dengan Story telling
yakni menceritakan kisah baik lisan atau membaca buku cerita (Larkin 1947).
Nah, kini Bunda sudah paham sekilas tentang dongeng.
Ternyata dongeng itu bermanfaat
juga untuk buah hati kita. Karena, dongeng tidak saja disukai anak-anak, namun
orang dewasa juga menyukainya. Karena bagi orang yang sudah dewasa, pastilah di
alam bawah sadarnya akan selalu terkenang dengan dongeng atau cerita yang
dibacakan orangtuanya di masa lalu. Bagi anak kecil, dengan mendengarkan
dongeng , maka imajinasi dan kreatifitas mereka akan berkembang dengan
pesatnya. Bukankah selama masa pertumbuhan sel-sel otak mereka yang jumlahnya
miliyaran akan tumbuh dan merangkai satu sama lainnya? Alangkah indahnya jika
dimasa mereka kecil, mereka sudah merangsang otak dengan hal-hal positif
terutama dari mendongeng. Kemudian buah hati kita juga akan belajar akhlak dan
moral yang baik, serta budi pekerti yang luhur tanpa merasa digurui. Misalnya Bunda
mendongeng tentang kisah para Nabi, Syuhada, kisah para pejuang Islam, maka
akan tumbuhlah dalam diri buah hati Bunda kecintaan kepada Nabi dan orang-orang
yang sholeh. Selain itu, dengan membiasakan mendongeng, maka akan terjalinlah
ikatan emosional yang erat antara orang tua dan anaknya. Karena menurut Goleman
(1995), dongeng berfungsi sebagai pendidikan emas yakni IQ hanya menyumbang 20
% dari kesuksesan individu, sementara 80 % lainnya kecerdasan emosional. Dan
ini bisa diraih, jika para Bunda rajin merangsang kecerdasan emosional melalui
dongeng.
Lalu kapan saat yang tepat untuk
para Bunda atau Ayah untuk mendongeng kepada para buah hatinya? Nah, untuk hal
yang satu ini sebaiknya Bunda atau Ayah mencari waktu yang tepat minimal tepat
untuk orangtua dan anaknya. Namun usahakan Bunda membagi waktu dengan cermat
ya. Jangan sampai saat Bunda sedang merasa lelah, capek, atau sedang banyak
pikiran. Karena buah hati Bunda akan segera bisa membaca pikiran Bunda lho !
Bahwa Bundanya tidak ikhlas atau terpaksa mendongeng karena semata ingin
menepati jadwal yang sudah disepakati. Bisa saja Bunda mengganti waktu
mendongeng di waktu yang lain, asalkan komitmen dengan waktu yang baru.
Untuk masalah tempat untuk para
Bunda mendongeng sebenarnya bisa dimana saja. Asalkan dilihat dulu suasananya.
Bunda bisa mendisain suasananya, apakah di kamar sebelum tidur, di ruang
keluarga atau di taman juga bagus. Buah hati Bunda juga dikondisikan ya.
Terutama dongeng untuk para bayi usia setahun kebawah belum terlalu konsentrasi
untuk dongeng yang panjang, jadi cukuplah sentuhan atau cerita yang pendek
saja.
Nah, Bunda jadi mendongeng bukan
pekerjaan guru disekolah, atau dilakukan seorang profesional. Kita pun para
Bunda atau Ayah pun pasti bisa melakukannya. Yuk para Bunda dan juga Ayah,
luangkan waktu kita sebentar untuk mendongeng sekarang juga ! Karena jika
mendongeng rutin kita lakukan, maka Bunda akan melihat perkembangan yang
menakjubkan dari buah hati kita. Dan
acara mendongeng bersama Bunda atau Ayah adalah kegiatan yang menyenangkan juga
seru. Selalu dinantikan oleh buah hati kita setiap hari. Terbawa hingga mereka
dewasa sama seperti kita orangtuanya yang mungkin lebih dulu menikmati dongeng
tanpa kita sadari.
So, don’t forget Mom’s ! Mendongenglah dengan cinta.
Tatap mata buah hati Bunda, niscaya Bunda akan merasakan sensasi
tersendiri….Selamat Mendongeng !!
Rina Febriyanti
Penulis / Pendongeng
Kisah Cinta Rania
Kisah Cinta Rania
Rania termenung membaca kartu
undangan ditangannya. Seakan tak percaya, Rania membaca berulangkali nama yang
tertera dalam kartu undangan warna merah muda berpita. Seseorang menitipkan
kartu undangan itu pada Mutia sahabatnya.
Saat bertemu Rania di kampus, Mutia dengan senyum menggoda memberikan kartu
itu,
“ Pangeran idamanmu ternyata
telah menemukan permaisurinya!” bisik Mutia meledek. Dengan penasaran cepat
dibukanya kartu undangan yang masih tertutup plastik bening,
“ Masya Alloh…..! Benarkah??”
Rania menatap wajah Mutia sahabatnya yang tampak bingung melihat reaksi Rania.
Didalam kartu undangan itu, tertera nama
Mukhlis Yahya yang akan melangsungkan pernikahan dengan Madina Syahidah sabtu
depan. Nama terakhir adalah teman mengaji Rania di Mushola Al Insan di
kampusnya yang terletak di sebelah timur kota
Pekanbaru.
“ Hari ini adalah hari terburuk
bagiku!...Mutia, antarkan aku pulang!” dengan tergesa Rania menarik sahabatnya
masuk kedalam mobilnya.
Rania tak habis pikir mengapa
semua ini terjadi. Pikirannya menerawang mengingat masa lalunya yang boleh
dikatakan kelam bagi remaja seusianya. Terlahir dari keluarga kaya raya.
Ayahnya seorang pengusaha sukses dan Ibunya adalah seorang pengacara. Rania
yang anak tunggal hidup berlimpahan materi, sehingga membentuk karakternya
menjadi sombong, suka merendahkan orang lain bahkan sedikit egois dan narsis.
Rania yang cantik berwajah blasteran Jerman-Indonesia adalah ratu ditengah keluarga. Segala keinginannya
haruslah terpenuhi saat itu juga. Kalau tidak, orangtuanya akan kelabakan
karena Rania nekad mogok makan. Pendidikan Agama boleh dikata tidak ada dalam
kehidupan Rania. Sehingga pergaulan bebas tak asing lagi baginya. Mahasiswi
semester satu jurusan Hubungan Internasional ini nyaris mati terkapar karena
over dosis obat terlarang. Saat itu, orangtua Rania hanya bisa pasrah dan
berdoa bagi keselamatan putri tunggalnya.
Hingga di suatu pagi yang dingin,
Rania tak sengaja melintasi Mushola Al-Insan yang bercat putih bersama Mutia
sahabatnya. Terdengar sayup-sayup suara seorang lelaki tengah mengaji. Langkah
tergesa Rania mendadak terhenti. Dirinya seperti terlempar masuk kedalam taman
yang sangat indah, dengan semilir angin yang menyejukkan hati,
“ Sst…Mutia! Suara siapa itu?
…..Siapa yang mengaji pagi-pagi begini?!” bisik Rania. Dari balik kaca jendela
yang sedikit terbuka, Rania mencoba mengintip kedalam Mushola. Tidak tampak
olehnya siapapun. Hanya suara yang merdu, menyejukkan dan menggetarkan hati. Lantunan ayat suci
yang dibaca oleh lelaki itu seakan mengajak dua sahabat itu masuk kedalam
Mushola. Hal yang selama ini jarang mereka lakukan. Karena tempat favorit
mereka adalah kafe di belakang kampus.
Tiba di dalam Mushola, suara itu
terhenti. Merasa diperhatikan, lelaki itu menoleh,
“ Assalamualaikum…..” sapa lelaki
itu tersenyum. Rania tersentak, dalam beberapa detik layaknya patung. Mutia
kebingungan melihat sikap sahabatnya.
“ Saya Mukhlis. Alumni kampus
ini. Ada yang
bisa saya Bantu?!” Mutia menyikut lengan Rania yang segera tersadar dari mimpi
indahnya. Wajah itu…..wajah itu lebih tampan dari aktor Brad Pitt !
“ Oh…eh…saya …saya Rania dan ini
Mutia sahabat saya. Eh….maaf kami tak bermaksud mengganggu…!” Rania menjadi
salah tingkah. Mutia geli melihat sikap aneh sahabatnya ini. Kemana Rania yang
kukenal galak? Batin Mutia.
” Oh…..Tak apa. Saya sudah selesai. Ada kuliah pagi ya? …Dulu saya ambil sastra Indonesia di kampus ini.” Ujar Mukhlis sambil merapikan sajadah dan meletakkannya di lemari.
” Oh…..Tak apa. Saya sudah selesai. Ada kuliah pagi ya? …Dulu saya ambil sastra Indonesia di kampus ini.” Ujar Mukhlis sambil merapikan sajadah dan meletakkannya di lemari.
“ Tadi kami dengar suara Bang
Mukhlis sewaktu mengaji. Ehm…saya eh kami …jadi tertarik. Belum pernah saya
dengar suara semerdu ini.Mungkin…..ehm mungkin Bang Mukhlis mau mengajarkan
kami?!” Mutia melotot kearah Rania.Apa?...Belajar mengaji? Sejak kapan tertarik
ngaji? Geram mutia.
“ Oh…boleh boleh..Dengan senang
hati. Kebetulan setiap Jumat pagi ada kajian belajar mengaji di Mushola ini.
Datanglah….! Nanti bisa bergabung dengan teman-teman yang lain…” Rania
tersenyum. Sinar mentari pagi menyelinap masuk lewat celah jendela, dan
menyinari wajah cantiknya, seakan ikut bersuka cita.
Mutia terheran-heran akan
perubahan sikap Rania. Namun, Rania tetap teguh dengan keinginannya. Siapa lagi
kalau bukan Rania, yang segala keinginannya harus selalu terpenuhi? Perubahan drastis
yang terjadi pada Rania seharusnya patut disyukuri. Setidaknya itulah yang
diucapkan sang Ibu, menyaksikan Rania yang mendadak jadi putri penurut. Mulai
belajar mengendalikan emosi, tidak meledak-ledak seperti dulu. Tidak pulang
larut malam lagi dan yang paling membahagiakan orangtuanya adalah Rania yang
kini mulai belajar mengaji. Jumat pagi adalah jadwal rutin Rania mengaji
bersama Bang Mukhlis dan beberapa teman yang lain.Mutia pun mengikuti kehendak
Rania untuk menemaninya. Bahkan Rania menjadi rajin menyambangi Mushola dan
mulai menolak dengan halus tawaran untuk hang out bersama beberapa teman
prianya,
“ Sudahlah Mut! Itu masa
lalu…Bukankah kita harus belajar menata masa depan? Sudah terlalu banyak dosa
yang kita lakukan….!” Ujar Rania saat Mutia bertanya kenapa kini jadi sulit
kumpul dengan teman satu gengnya.
“ Tapi….bener nih kamu berubah karena
kemauan sendiri? Atau…karena Bang Mukhlis? Sepertinya….ada apa-apa nih antar
kalian berdua…!” goda mutia.
“ Hush!....Jangan menyebar gossip
ah!....Nggak bagus….Ingat kata-kata Bang Mukhlis hati-hati dengan lisanmu.”
“ Iya….iya! Aku paham. Tapi….itu
loh…dari cara kamu menatap dia..seperti melihat sang pangeran dari negeri
impian..hahaha.” ledek Mutia tergelak.
“ Sudah ah!...Kamu ini, jangan
sampai terdengar Bang Mukhlis ya!!”
“ Terdengar apa?....Bahwa kamu
jatuh hati pada sang pangeran itu?? Hayoo ngaku…!!”
Rania tersenyum. Dirinya bukannya
tak menyadari perubahan sikapnya pada Bang Mukhlis. Jika menghadapinya, sikap
Rania mendadak berubah. Lebih sopan, lembut dan berusaha menjaga sikap. Hidupnya
terasa lebih berpelangi, lebih bermakna dari sebelumnya. Enam bulan belajar
bersama , menjadikan Rania mengenal hakikat hidup yang sebenarnya. Namun, baru
belakangan ini dirinya mulai menyadari arti debar jantungnya saat menatap Bang
mukhlis berbicara, memberinya nasehat bahkan Rania merasa perhatian Bang
Mukhlis kepadanya lebih dari sekedar guru kepada muridnya. Bahkan abang kepada
adiknya. Apakah benar kata-kata Mutia bahwa aku menyukai Bang Mukhlis? Tanya
Rania dalam hati. Dan apakah Bang Mukhlis juga memendam perasaan yang sama
denganku? Entahlah….!Walaupun sedari awal berjumpa dengannya dan akhirnya
mengikuti kajian bersama Bang Mukhlis semata hanya untuk menikmati wajahnya
yang tampan itu. Hingga kini, niat awal itu mulai berubah dengan tumbuhnya rasa
suka. Lalu, salahkah bila aku merindukan seorang pangeran yang akan membawaku
ke syurga dunia dan akhirat? Batin Rania gelisah.
Dan akhirnya, kegelisahan
Raniapun terjawab sudah…Senja itu, matahari perlahan menyisakan warna
keemasannya. Saat Rania selesai mengikuti kajian tentang ilmu tajwid di
Mushola. Ketika suasana agak lengang, Bang Mukhlis menghampiri Rania, yang
sedang membereskan kertas-kertas yang berserakan,
“ Ran…..ini ada sekedar
kenang-kenangan dari saya. Maaf….saya tidak tahu warna favorit kamu, tapi
semoga kamu suka ya…Dan berkenan menerimanya.”
” Apa ini bang?” Rania nampak surprise dengan kado berbentuk hati berwarna pink itu. Bang Mukhlis kemudian duduk disamping Rania. Debar jantung Rania seakan bisa terdengar oleh dirinya sendiri.
” Apa ini bang?” Rania nampak surprise dengan kado berbentuk hati berwarna pink itu. Bang Mukhlis kemudian duduk disamping Rania. Debar jantung Rania seakan bisa terdengar oleh dirinya sendiri.
“ Saya tahu….kamu selalu semangat
sekali untuk selalu hadir…dan itu harus disyukuri..Tapi…bukan berarti kalau
saya tidak ada disini semangatmu hilang tertiup angin.”
” Maksud abang?” Rania tak bisa meredakan debar jantungnya yang semakin kencang saja…
” Maksud abang?” Rania tak bisa meredakan debar jantungnya yang semakin kencang saja…
“ maaf Ran..saya mulai besok tak bisa hadir disini
lagi…besok..saya akan pulang ke kampung saya di Jawa sana….Ada urusan keluarga yang harus
diselesaikan. Tapi…tak apa, nanti ada yang menggantikan saya yakni Bang Irsyad.
Saya mungkin agak lama…”
Penjelasan Bang mukhlis seakan
sebilah pisau yang mengiris-iris hati yang mulai berbunga milik Rania. Bunga
itu diharuskan layu…sebelum menikmati sinar mentari. Mengapa di saat hatiku
tertarik padamu, lalu abang pergi begitu saja? Sesal Rania.
Kado dari Bang Mukhlis berisikan jilbab biru laut berenda
putih warna favorit Rania! Ada
sedikit tulisan di kertas putih dari Bang Mukhlis yang isinya,
“ Ikhlaslah selalu dalam
mengerjakan apapun…..hingga kita bisa meraih cinta-Nya. Semoga adik selalu
semangat mengaji di Mushola ini.Salam…..dari abangmu Mukhlis.”
Rania tergugu dalam pelukan Mutia
sahabatnya. Langit yang berwarna biru mendadak mendung, menandakan akan turun
hujan deras. Rania berjanji dalam hatinya akan selalu semangat seperti pesan
Bang Mukhlis.Walaupun cinta yang mulai mewarnai hatinya kini berguguran lenyap
diterpa hujan yang menderas.Aku akan selalu menunggumu bang….disini di Mushola
ini..entah sampai kapan, isak Rania tertahan.
Emak maafkan Aku
Emak
Maafkan Aku
Gerimis pagi ini seolah mengerti
kesedihanku. Alam seakan ikut berduka dan tiada henti menemaniku dengan tetesan air yang membasahi apa saja. Aku
terus mengutuk diriku sendiri dan selalu merasa bersalah kenapa ini terjadi.
Dua tahun kerja kerasku terasa sia-sia saja….Masih terbayang senyuman Emak,
saat menerima hadiah pertama kalinya dariku. Kupandang baju yang tergantung di
pojok kamar. Kain songket hijau lumut dipadu dengan baju gamis khas melayu.
Baju yang seharusnya di kenakan Emak saat ulangtahunnya nanti. Namun itu semua
bagai mimpi, karena Emak pun tak kan
sempat memakainya. Justru saat hatiku bahagia karena azzamku membahagiakan Emak
saat hari bahagia itu terwujud.
Masih segar dalam ingatanku saat
Emak rutin membangunkan aku di subuh hari,
“ Satria…bangun! Sholat Subuh ke
Masjid! Tak dengar adzan dah berkumandang?” Ujar Emak menggoyang-goyang
tubuhku.
“ Nanti Mak…! Masih ngantuk…dirumahkan
bisa sholatnya Mak?!” Aku meraih selimut dan kembali tertidur.
“ Hay….macam mana kau bisa
sukses, sholat subuh pun malas !” Aku mendengar langkah kaki Emak keluar kamar.
“ Mak, kalau mau sukses tu kerja,
bukannya sholat subuh!” gerutuku sambil menutupi telingaku dengan bantal.
Semenjak Ayah meninggal lima tahun yang lalu
karena tertabrak mobil, hidupku tak tentu arah. Selepas sekolah menengah, aku
tak melanjutkan kuliah seperti teman-temanku yang lainnya. Ketiadaan biaya jadi
alasan klise menurutku. Bukankah Emak bisa meminjam uang pada Om Eka yang kaya
raya itu? Lagipula Om Eka adalah abang dari Ayahku. Lalu mengapa Emak tak mau
mengusahakan aku untuk bisa kuliah? Emak justru menyuruh aku bekerja pada Om
Eka sebagai penjaga gudang beras miliknya. Aku sangat kecewa saat itu! Karena gengsi pula aku menolak perintah Emak.
Impianku menjadi sarjana hilang terbawa angin. Apalagi Ayah tak meninggalkan
warisan apapun, selain sepetak rumah dan hutang yang bertumpuk.
Tahun demi tahun berlalu dengan
irama yang sama. Emak kulihat semakin sering sakit-sakitan. Entah apa
penyebabnya. Apa karena selalu memikirkanku yang menjadi lelaki pengangguran?
Aku memang tak ingin melakukan apapun.Karena bagiku hidupku sudah selesai dan
tak ada lagi impian bahkan cita-cita. Kerjaku hanya dirumah, kadang pergi
kerumah kawan yang hampir selesai kuliahnya. Hingga di suatu malam, Emak
memanggilku di beranda depan rumah. Bulan sabit nampak bercahaya.Malam begitu
syahdunya sehingga membuatku mengantuk.
“ Sat…Emak tak kuat lagi
melihatmu seperti ini.Maafkan Emak karena kau tak bisa kuliah..Tapi ini sudah
suratan takdir, nak! Ayahmu tak meninggalkan warisan apapun, bahkan hutangnya
menumpuk..Emak tak sanggup berhutang lagi untuk biaya kuliahmu,nak!” Kulihat
Emak dengan sedikit kesal.
“ Satria harus kerja dimana
Mak?...Mana ada perusahaan atau kantor yang menerima lulusan SMA seperti aku
ini? Paling kerjanya jadi pesuruh. Kalau aku sarjana , mungkin aku sudah jadi
direktur atau Kepala bagian…”
“ Satria…kerja apapun asal halal
tak apa nak..Kalau Emak ingin kau langsung kerja saja, itu juga untukmu
sendiri, Mak tak meminta apapun darimu. Hanya….bila nanti Mak dipanggil gusti
Alloh Mak akan ikhlas,karena kau sudah
mandiri dan punya penghasilan sendiri.Jadi tidak tergantung sama orang lain,
nak!” jelas Emak sambil terbatuk-terbatuk. Usia Emak kini menginjak 75 tahun,
usia yang semakin sepuh. Dan itu tak kusadari dari awal.Hatiku seperti tertohok
mendengar ucapan Emak barusan.Dipanggil Tuhan? Apakah…apakah Emak akan pergi
untuk selamanya? Sepintas bayangan almarhum Ayahku berkelebat.
“Mak…Jangan ucapkan itu lagi
Mak!”Aku seperti tersadar dari mimpiku selama ini. Kupandangi wajah Emak.
Kerutan wajah tirusnya, sorotan matanya yang tak lagi awas karena katarak,
tangan kanannya yang gemetar saat memegang gelas membuatku bersimpuh di
pangkuannya,
“Mak..maafkan Satria ya Mak!
Satria janji Mak..berusaha cari kerja lagi dan…dan membahagiakan Emak.Tapi Mak
janji jangan tinggalkan Satria ya Mak!” Bergetar suaraku dan untuk pertama
kalinya aku menangis di pangkuannya. Emak membelai kepalaku dan turut menangis
terharu.
“ Terimakasih Tuhan…Kau telah
Ijabah doa-doa hamba-Mu selama ini. Sadarnya anakku adalah karunia terbesar
untukku”
Hampir dua tahun sudah aku
bekerja. Lewat bantuan Om Eka, akhirnya aku menjadi petugas cleaning service di
sebuah gedung pemerintahan. Pekerjaan yang awalnya kutolak, kini menjadi bagian
dari rutinitas keseharianku. Demi membuat Emak bahagia, aku rela melakukan
apapun untuknya. Emak kulihat bahagia dengan perubahanku. Namun, sebagian
gajiku habis hanya untuk melunasi hutang Ayah.Sebagian lagi digunakan untuk
pengobatan Emak. Semenjak aku bekerja, justru batuk Emak semakin parah. Kubawa
Emak ke rumah sakit terdekat.Dari hasil pemeriksaan, dokter memvonis Emak
menderita kanker paru-paru! Aku sangat terkejut saat itu! Bagaimana mungkin Emak
punya penyakit itu? Tapi Emak menyabarkanku dan meminta untuk rawat jalan saja.
Sejak itu, aku jadi semakin rajin bekerja. Sepulang dari cleaning service, aku
berusaha mencari pekerjaan lainnya. Sehingga aku terkadang pulang larut malam.
Emak kulihat semakin sehat dan batuknya jarang lagi terdengar . Kusyukuri semua
karunia Tuhan. Sholatpun tak lagi kutinggalkan. Belajar mengajipun kulakukan
setiap hari minggu, bersama Ustadz Somad di masjid Annur.
Minggu depan adalah hari yang
istimewa bagi Emak. Aku berencana membelikannya hadiah spesial untuknya.Dua
tahun aku bekerja, dan kini saatnya aku membahagiakan Emak,setelah
hutang-hutang Ayah terlunasi dan Emak pun nampak makin sehat saja. Mulailah aku
menabung sedikit demi sedikit. Aku tahu bahwa Emak hampir tak pernah membeli
baju beberapa tahun terakhir ini.Karena uang yang ada habis untuk keperluan
lainnya. Nah, aku ingin sekali membelikan baju yang sedikit mahal. Bahkan
kalaupun harga baju itu sama dengan gajiku, tak mengapa. Yang terpenting aku
ingin melihatnya bahagia di hari ulangtahunnya nanti. Walau Emak tak pernah
merayakannya sama sekali.
Siang itu, sepulang dari tempat kerja, aku mampir sejenak di pasar
Sukaramai. Masih teringat ucapan Emak tadi pagi,
“ Sat….minggu besok kamu masuk
kerja? Kalau tak, antar Mak ke kuburan Ayahmu ya..Dah lama kita tak ziarah
kesana. Mak mau membersihkan kubur Ayahmu.” Aku terdiam.Sambil menghirup teh
panas, aku menatap Emak,
“ Bukannya sudah dua hari yang
lalu, Mak? Kuburan Ayah pastilah masih bersih.Kan Satria yang membersihkannya
Mak..” Emak nampak agak marah dengan
ucapanku tadi.
“ Kalau kau tak mau ya
sudahlah..Mak pergi sendiri saja diantar Surti!” Surti adalah tetangga sebelah
yang seusia denganku.Tapi Surti itu kuliah sementara aku tidak…
” Heh malah melamun..!! kenapa, kau suka ya sama Surti?” Tanya Emak menggoda. Aku tersipu.Ah,Mak…tak sempat rasanya memikirkan hal itu. Kuhabiskan teh panas yang tersisa kemudian menggamit tangan Emak dan menciumnya,
” Heh malah melamun..!! kenapa, kau suka ya sama Surti?” Tanya Emak menggoda. Aku tersipu.Ah,Mak…tak sempat rasanya memikirkan hal itu. Kuhabiskan teh panas yang tersisa kemudian menggamit tangan Emak dan menciumnya,
“ Satria pergi dulu ya Mak…!
Sudah, nanti Satria antarkan ke sana.
Mak baik-baik ya Mak..Assalamualaikum..”
Dengan semangat aku sibuk memilih
baju yang cocok untuk Emak. Tak ada firasat apapun saat itu. Yang terbayang
adalah senyum Emak, yang bahagia dengan hadiahku ini.Ini bukti cintaku padamu,
Mak! Namun….. saat aku pulang, dirumahku telah banyak orang berkumpul.Semua
tetanggaku berkumpul dan nampak menunggu kepulanganku,
“ A…ada apa bang? Kenapa banyak
orang? Mak….??!” Tanyaku panik pada Bang Saiful tetanggaku. Nafasku memburu dan
kakiku gemetar rasanya.
“ Tenang…sabar sabar. Tadi Emak
kau dibawa kerumah sakit naik mobil Pak RT. Beliau pingsan dan….” Aku tak
sempat lagi mendengar penjelasan Bang Saiful. Kutarik Bang Saiful menemaniku ke
rumah sakit naik motornya. Baju untuk Emak yang terbungkus plastik hitam ku
peluk dengan erat.
“ Ya Alloh…selamatkan Emak! Aku
mohon pada-Mu Ya alloh…! Emak….maafkan aku Mak!! Kenapa aku tinggalkan Mak
sendiri…Kenapa??” batinku meradang pilu. Sepanjang perjalanan menuju Rumah
Sakit Umum, ku rapal doa-doa yang kuingat. Ingin rasanya terbang saja dan
langsung berada disisi Emak detik ini juga.
Sampai di rumah sakit, setengah
berlari aku menuju ruang UGD.Bang Saiful terengah-engah mengejarku,
“ Emak….! Emak kenapa Mak? Dokter
selamatkan Emak saya!” jeritku tertahan. Airmataku deras menetes. Diruang UGD
Rumah Sakit Umum, kulihat Emak tak sadarkan diri. Seorang dokter dibantu
beberapa perawat mencoba menolong Emak.Bang Saiful menahanku agar aku tak
mendekati Emak dulu. Alat pemacu jantung terpasang dan Dari grafik kulihat
nafas Emak naik turun. Baju baru untuk Emak kupeluk dengan erat. Seperti aku
memeluknya…Tuhan….selamatkanlah Emak saya..tolong!! doaku dalam hati.Tiba-tiba,
Emak tersadar sesaat.Aku berlari memeluknya dan bang Saiful mendekati Emak
juga. Kuciumi wajah Emak, dan perlahan aku menyerahkan bungkusan hadiah baju
baru untuknya. Kulihat Emak tersenyum….walau bibirnya pucat dan nafasnya
tersengal-sengal, aku yakin Emak menyukai hadiah dariku ini,
“ Mak….! Mak tak apa-apa kan Mak?.. Tadi Satria
beli baju baru untuk Emak.Baju ini untuk dipakai hari jadi Emak ya Mak? Maafkan
Satria ya Mak…” Aku melihat wajah Emak bersinar. Senyuman manis yang teramat
manis yang pernah kulihat,
“ Sat….Mak…Mak sayang kamu nak!! Ma…maafkan…Mak..”
Emak menggenggam erat tanganku. Aku bahagia sekali Emak menyukai hadiahku ini.
Hingga Bang Saiful menarikku menjauh dari Emak.Genggaman tangan Emak terlepas
dan terkulai lemas. Bang Saiful memelukku dan berusaha menyabarkan hatiku.
“ Sabar Sat…Sabar..! Emakmu sudah
bahagia dan tenang sekarang..”
Hari minggu ini adalah hari yang
bersejarah untuk Emak. Walau Emak tak sempat memakai baju ini, namun aku yakin
Emak memakai pakaian yang lebih indah dari yang ku belikan untuknya.
Cerpen Ramadhan tanpa Bunda
RAMADHAN
TANPA BUNDA
Kembali kubaca surat ini. Surat Dari seorang yang ku panggil
ibu. Seharusnya aku gembira dengan datangnya surat itu. Tapi tidak! Yang kurasakan hanya
hampa, dan aku merasa tak ingin menyebut nama itu selamanya. Lima tahun sudah ibu pergi meninggalkanku
sendiri, dikala aku masih butuh kehangatannya. Sehari setelah acara perpisahan
kelulusanku dari sekolah menengah. Saat
itu ibu memelukku, dan dengan kelembutan ucapannya ibu berkata bahwa kepergiannya
takkan lama. Hanya untuk mencari biaya tambahan agar aku bisa kuliah di
perguruan tinggi. Ibu ingin melihat aku menjadi sarjana.
“Di kampung
kita, tidak ada yang sekolah hingga menjadi sarjana, nak. Sebab itu ibu harus
berusaha agar kamu bisa menjadi sarjana. Sesuai pesan almarhum ayahmu.” Ujar
ibu pelan sambil menatapku lembut.
“Tapi Nur tak
ingin ibu pergi….Nur bisa mencari uang sendiri, bu. Kalau ibu ijinkan…”
“ Tidak Nur!
Kamu tak boleh bekerja sambil kuliah. Itu akan menguras tenaga dan
pikiranmu.Kamu lihat Parmin anak Pak
Broto tukang bubur itu, akhirnya …justru
bekerjalah jadi pilihannya, kuliahnya..? Berhenti…!”
Pendapat
itulah yang akhirnya membawa ibu hingga tahun kelima tak bisa kembali ke Indonesia. Majikan
ibu di Kuwait,
tak mengijinkannya untuk pulang. Cuti lebaranpun tak pernah diberikannya. Aku
tak mengerti mengapa ada orang yang sedzolim itu. Menguras tenaga pekerjanya,
tapi mengabaikan hak-hak dasar kehidupannya.
Walaupun setiap
bulan ibu rajin mengirimiku uang , bahkan terkadang berlebih. Hanya lima bulan belakangan ini,
ibu tak lagi mengirimiku uang. Sungguh aku jadi kelabakan, dan terpaksa mencari
uang tambahan dengan berjualan kecil-kecilan di sela kesibukanku kuliah.
Dan
kini, yang kuterima hanya sepucuk surat di lima bulan penantianku
akan kabarnya. Surat
yang ku kirim setiap bulan rupanya tak pernah sampai padanya, entah apa
sebabnya. Aku jadi khawatir dengan keadaannya. Hanya tetes airmata yang
menggelegak menemaniku bila rasa rindu kian membuncah.
Rumah
kontrakanku di bilangin kuningan Jakarta
mendadak sunyi hari ini. Semua teman- teman kuliahku yang menempati rumah ini
bersamaku kompak pagi ini pulang ke daerah nya untuk berpuasa bersama
keluarganya. Termasuk juga Mbok Minah, pembantu di rumah ini, juga berpamitan
padaku hendak pulang ke Brebes. Biasanya, aku dan Mbok Minah berpuasa bersama.
Namun kini, hanya sepi yang menemaniku. Ku rajut tali temali kesabaranku, ku
tahan buliran air mata yang siap membasahi pipiku, saat aku memeluk Mbok Minah
yang berpamitan padaku. Baagiku, Mbok Minah adalah pengganti ibuku yang
bertahun-tahun hilang dari bilik hatiku.
“Mbok pamit dulu
ya nduk. Jaga dirimu baik-baik. Kalau lebaran nanti, datanglah kerumah Mbok.
Kami akan selalu siap menerima kedatanganmu.” Ujar Mbok Minah sambil memelukku.
Sungguh, kata-kata itu sama persis dengan ucapan ibuku dulu.
“Nur ndak
apa-apa, Mbok. Lebaran nanti Nur akan pergi ke desa Mbok.” Bisikku pilu.
Kehampaan
kembali menderaku. Aku seperti orang gila tidak tahu harus berbuat apa. Order
jualan bajuku sepi, uang kuliah yang harus dibayar, belum lagi kebutuhan bulan
Ramadhan. Tiba-tiba aku jadi ingat ibu. Ah,..mengapa ibu tak pulang juga tahun
ini? Aku merindukanmu, bu…! Ku tapaki hari demi hari tanpa kejelasan yang
pasti. Dulu, aku bisa menerima alas an kepergianmu, namun kini saat usiaku
menginjak 22 tahun, aku tak lagi mampu menerima alasan itu. Lima tahun penantianku cukuplah bagiku. Aku
menjadi pribadi yang mandiri, tegas, dan pantang menyerah pada nasib. Namun,
dibalik ketegasanku, dari bilik hatiku aku sangat merindukan sosok seorang ibu.
Di
keheningan malam pertama bulan Ramadhan, suasana hiruk pikuk di luar sana tak mampu
menghiburku. Kuadukan segala keluhku dalam sholat malamku. Terbayang ketika
sahur bersama ayah, ibu dan aku sambil menyantap lauk seadanya. Tapi buatku,
itu adalah syurga duniaku.
“Alloh, ijinkan
ibuku pulang tahun ini, agar aku dapat berbakti kepadanya, disisa usianya…”
lantunan doa yang selalu ku panjatkan selesai sholat. Dan seakan ada kontak
batin antara ibu dan anak, tiba-tiba saja ponselku berbunyi. Di ujung telepon,
suara seorang wanita yang sepertinya ku kenal. Apakah ini ibu?..Tak mungkin,……!
mungkin ini imajinasiku saja…
“Nur…..ini ibumu, nak! Ibu
merindukanmu..” ujar wanita itu sambil terisak.
“ I….ibu?...Tak mungkin..Benarkah
ini ibu?...Ya Alloh, ibu….!! Ibu dimana bu? Mengapa ibu tak pulang. Apa yang terjadi bu?” Tanyaku
sesenggukan.
“ Maafkan ibumu
nak! Ibu tahu nomor teleponmu dari Kang Budi, tetangga kita itu lho yang jadi
TKI. Dia juga yang menolong ibu, hingga ibu bisa berada di KBRI. Ibu lari dari
majikan ibu…ceritanya panjang, nak. Sekarang ibu mau ngurus visa sama paspor
untuk pulang. Lebaran nanti ibu pulang, nak! Yang sabar ya nak…” jelas ibu
panjang lebar.
Ramadhan
tahun ini kurasakan berbeda dari tahun sebelumnya. Jika sebelumnya hatiku
hampa, seperti anak ayam kehilangan induk. Kini, hari-hari Ramadhanku adalah
hari penuh senyum, haru, dan entah rasa apalagi yang bersemayam di hatiku.
Selalu ku hitung hari-hariku, dan doa yang tak putus ku untai untuk ibu agar
urusannya di permudah. Agar aku bisa kembali berjumpa dengan matahariku, yang
selalu menghiasi kehidupanku. Dialah ibuku, seorang wanita pejuang untukku.
Kini, mentari syawal segera bersinar, mengusir kelabunya malam di hatiku. Hari
barupun dimulai, dengan lantunan dzikir menyambut pertemuan dua hati yang terikat dalam ikatan darah dan daging.
Terima kasih Tuhan,…Kau telah mengijabah doa-doa hambaMu ini, batinku
haru.Mimpiku berjumpa ibu di awal Syawal kini menjadi nyata…..
Langganan:
Postingan (Atom)